Kamis, 31 Maret 2011

Konspirasi Zionis Dalam Perfilman di Indonesia:Bagian Dari Media Penikam Islam di Layar Lebar

Pornografi and Undermind Control
Eksodus film-film tak seronok juga patut kita
cermati. Kalau anda melihat film-film asing,
hampir di setiap penayangannya menyisipkan
dua hal: kalau tidak adegan ranjang pasti ada
kecupan. Dulu kita mengenal film Basic Instinct,
di Indonesia muncul Jacarta Undercover. Dulu
ada film Scary Movie, di Indonesia Tukang Jamu
Gendong berubah menjadi hantu cabul. Di
Amerika ada film Setan berpakaian rok mini. Di
Indonesia? Tidak usah saya sebut namanya,
hampir berjumlah ratusan. Selain judulnya
menggelikan, semakin menambah rasa malu
kita sebagai umat.
Dan kita bisa lihat dari mulai adegan cium saja,
kini film Indonesia ikut-ikutan mengadopsi.
Sebut saja film 18+, Virgin, bahkan di film
Cokelat Stroberi, laki-laki sesama laki-laki
berciuman. Dalihnya trademark.
Pertanyaannya kemudian adalah kenapa
pornografi yang dipilih? Karena zionis tahu betul
efek pornografi memiliki tingkatan yang lebih
mengkhawatirkan ketimbang narkoba.
Bayangkan dampak dari pornografi bisa
menimbulkan visualisasi tayangan ke dalam
otak anak dalam jangka waktu sangat lama.
Otak adalah satu-satunya sistem yang kuat
mengakomodir optimalisasi imaji anak yang
melekat dalam jangka cukup panjang dan
mendalam. Ekses dari hal ini adalah bahwa otak
manusia akan berada di bawah kontrol yang
mampu menghancurkan konsentrasi. Seorang
pecandu pornografi minimal mesti mengikuti
program rehabilitasi minimal 18 bulan.
Dalam seminar mengenai dampak pornografi
terhadap kerusakan otak di Jakarta 2/3/2009, ahli
bedah syaraf dari Rumah Sakit San Antonio,
Amerika Serikat, Donald L. Hilton Jr, MD pernah
mengatakan bahwa adiksi (kecanduan)
mengakibatkan otak bagian tengah depan yang
disebut Ventral Tegmental Area (VTA) secara
fisik mengecil. Adiksi apa kemudian yang
mengkhawatirkan? Adiksi pornografi.
Pornografi, lanjut Donald Hilton, mampu
menciptakan perubahan konstan pada
neorotransmiter dan melemahkan fungsi
kontrol.
Rupanya, ini yang membuat orang-orang yang
sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol
perilakunya. Kondisi itu, tidak terjadi secara
cepat dalam waktu singkat namun melalui
beberapa tahap yakni kecanduan dengan
ditandai dengan tindakan sederetan tingkah
impulsif, ekskalasi kecanduan, desensitisasi dan
akhirnya penurunan perilaku.
Apakah pornografi yang dimaksud hanya
berlaku pada film full porno? Sayangnya tidak!
Gambaran, adegan, kisah dalam film-film
bioskop Indonesia yang menampilkan atris-artis
berpakaian mini, komedi seksi, juga turut
mempengaruhi fungsi mendalam dari otak
manusia.
Menurut Kepala Pusat Inteligensia Departemen
Kesehatan, dr Jofizal Jannis, menyatakan bahwa
sistem otak bersifat adaptif dan fleksibel. Inilah
kecanggihan otak. Ia mampu menerima info
positif dan negatif yang pada akhirnya menjadi
manifestasi pada pembentukan perilaku dan
karakteristik seseorang.
Kondisi inilah yang memang merupakan salah
satu taktik zionis. Mereka ingin bahwa remaja
Indonesia secara pemikiran sudah dibawah
kontrol. Undermind control itulah yang
menemukan caranya melalui pornografi. Film
berubah menjadi sebuah tayangan kepada
transfer ideologi. Dari sobekan tikek menjadi
inflitrasi. Pornografi bukan sekedar hiburan,
pornografi adalah nilai.
Makanya itu tak heran kita melihat bagaimana
LSM-LSM asing sangat bergelora jika sudah
bicara memberi dukungan terhadap invasi film
porno dengan dalih Hak Asasi Manusia dan
kebebasan berekspresi.
Film Porno Berbaju Hak Perempuan
Berkaca daripada itu, minimal ada dua film
bergenre mesum-ideologis yang menwarnai
hingar bingar dalam pentas perfilman Indonesia
modern. Pertama sebuah film berjudul “Mereka
Bilang Saya Monyet”. Film ini, film posmo.
Berangkat dari Novel karangan Djenar Maesa
Ayu, aktris kondang yang tak lain kerap
menelurkan kisah beraroma feminisme dan
seronok. Novel ini ingin mendebat arti moralitas
sesungguhnya.
Karenanya, alih-alih ingin mengangkat hak
perempuan, film ini justru banyak menampilkan
adegan tidak senonoh. Sekalipun demikian,
entah alasan apa yang membuat Lembaga
Sensor Film justru meloloskan film ini, bahkan
film yang dirilis desember 2007 tersebut
menerima tujuh nominasi sekaligus pada ajang
Festival Film Indonesia 2008. Empat diantaranya
berhasil memenangkan berbagai kategori yang
ditawarkan, termasuk Aktris Terbaik untuk Titi
Sjuman.
Selain itu, film dengan bungkus feminisme
namun bermaterikan pornografi juga diangkat
lewat Film “Perempuan Punya Cerita”.
Sebenarnya film yang diproduksi Kalyana Shira
ini merupakan kumpulan 4 film pendek tentang
perempuan Indonesia dari segala umur dan
kehidupan. Tentunya, dengan mengambil angle
sebuah kisah penindasan perempuan, film ini
menggiurkan bagi aktifis feminis untuk
mengangkat hak-hak perempuan.
Film berjudul Cerita dari Jogjakarta, misalnya.
Alih-alih memberikan pelajaran bagi remaja,
film ini justru mempertontonkan seorang siswi
diperebutkan dan dihamili oleh empat remaja
sekaligus. Dan menariknya untuk menentukan
siapa yang harus bertanggung jawab, nasib
sang perempuan dipertaruhkan hanya lewat
sebuah undian. Naudzubillah.
Kalau sudah begini, logikanya ia hanya
menampilkan fakta sekaligus menampilkan
blunder. Dalam Islam, fakta porno, tidak boleh
ditampilkan, apalagi mau dijadikan keteladanan.
Kiprah Zionis Dalam Memberi Dukungan
Pendanaan film-film seksualitas sebenarnya
tidak dilakukan oleh bangsa sendiri. Minimal ada
back up dari dana asing untuk menyuburkan
film-film tersebut. Kasus ini terjadi pada
pegelaran Q! Film Festival, sebuah tragedi
bernama festival film homo yang pertama kali
terjadi di Negara mayoritas muslim ini. Terakhir,
acara ini dilaksanakan pada tanggal 24
september 2010.
Bahkan, jika anda masuk ke website Q Film
Festival http://www.q-munity.org, anda akan
langsung terkejut karena festival ini rupanya
sudah berlangsung sembilan tahun di Jakarta.
Sampai-sampai menurut salah satu harian,
Festival ini menjadi bagian dari bianglala
kehidupan urban Jakarta sekaligus sebagai aset
penting agenda kesenian yang seharusnya
menjadi kebanggaan Ibu Kota.
Acara Q! Film Festival pada tahun 2010 yang
terlaksana di Goethe Institut Jakarta, sempat
dikecam oleh Front Pembela Islam (FPI).FPI
mengatakan bahwa penyelenggaraan festival ini
meresahkan masyarakat yang notabene
mayoritas muslim. FPI kemudian melayangkan
gugatan dan hendak membubarkan pergelaran
mesum tersebut jika tidak dihentikan.
Namun rupanya, meski mendapat protes keras
dan ancaman pembubaran, panitia acara festival
film Q tetap tak bergeming. Mereka bersikeras
melanjutkan kegiatan sesuai jadwal kendati
kecaman datang dari berbagai pihak. Bahkan,
Komnas Perempuan melalui rilisnya
menyatakan bahwa tudingan FPI justru salah
alamat.
"Acara ini tidak ada hubungannya dengan
moralitas.Demi kepentingan kehidupan
bernegara yang menjujung tinggi hukum,
HAM,dan Demokrasi, Komnas Perempuan
menghimbau agar setiap pihak membuka
ruang dialog yang santun dan beradab"ungkap
mereka.
Uniknya,dukungan terhadap acara tersebut
tidak saja menjadi monopoli Komnas
Perempuan. Tercatat sederetan lembaga
pembela hak-hak atas nama perempuan dan
kebebasan berekspresi bersuara lantang ikut
melontarkan pernyataan sikap. Mereka
menekankan kalau Q! Film Festival merupakan
festival seni yang menyajikan informasi dan
karya seni tentang fenomena keberagaman
manusia.
Jadi tidak ada hubungannya dengan moralitas.
Kesamaan visi dan tujuan itulah yang
mengantarkan mereka merapatkan barisan
membela Festival Film thoghut itu dalam wadah
bernama Q-Community. Dari sekian Lembaga-
lembaga itu tercatat nama-nama seperti Goethe-
Institut,Centre Culturel Francais, Erasmus Huis,
Dewan Kesenian Jakarta (Kineforum),Subtitles,
KONTRAS,Arus Pelangi, Gaya Nusantara,
Komnas HAM,Komnas Perempuan, Jurnal
Perempuan,Kartini Asia Network, Perempuan
Mahardika,Institut Ungu,Ardhanary Institute,
Institut Pelangi Perempuan,GWL–INA, Institute
for Defense Security and Peace Studies (IDSPS),
Ratna Sarumpaet Crisis Center, Human Rights of
New York dan Berlin Film Festival.
Dari sini kita bisa melihat sederetan lembaga
asing dalam mendukung pelaksanaan Q! Film
Festival. Kiprah institusi tersebut menjadi motor
penggerak acara berskala internasional ini, baik
dalam bidang pendanaan, promosi, sampai
pembelaan. Sutradara Festival, John Badalu,
sendiri mengakui kalau pendanaan festival film
ini berasal dari kelompok-kelompok asing.
"Pendanaan festival film ini berasal dari
kelompok-kelompok asing. Kami memutar film
di pusat-pusat asing. Kelompok radikal tidak
akan berani menyerang kita. Jika mereka
melakukannya, ini sama saja menyerang
negara asing,"ujarnya.
Peran LSM-LSM atau Yayasan Internasional
untuk menggalang karya-karya Film anak
bangsa memang bukan barang baru.Film
Perempuan Berkalung Sorban yang dirilis
Januari 2009 adalah satu kasus tertentu.Film
yang hadir lewat garapan sutradara Hanung
Bramantyo ini bahkan sudah didanai oleh Ford
Foundation sejak masih berwujud novel.
Ford Foundation memang terkenal gencar
merekrut anak-anak muda kreatif Indonesia.
Para sineas muda yang ingin mengangkat film-
film seputar seksualitas, keseteraan gender,
kearifan lokal, dan lain sebagainya akan
diberikan suntikan dana segar dalam proses
pembuatannya.
Namun,kendati tetap berkilah mereka mengaku
sebagai organisasi Nirlaba, namun Ford
Foundation memliki aset yang cukup
menggiurkan. Menurut Wikipedia, cadangan
devisa lembaga yang berpusat di New York ini
mencapai US$ 13.7 dan US$ 530 juta
diantaranya dalam bentuk hibah. Dari sinilah
kemudian mereka menyebarkan misinya
melalui proyek film-film sarat ideologis kufar ke
berbagai negara.
Selain membiayai Film PBS, Perempuan Punya
Cerita,Lembaga mantel zionis ini juga
membiayai film pembelaan terhadap hak waria
berjudul Working Girls(Perempuan Pencari
Nafkah).Dalam salah satu segmen dalam film
ini berjudul Ulfie Pulang Kampung. Bercerita
tentang perjalanan seorang waria dalam dua
kehidupan,kisah ini ingin membawa penonton
melihat waria dan pengidap AIDS dari perspektif
berbeda.Karena itu tak heran, bukan mengajak
sang waria untuk bertaubat, film arahan Daud
Sumolang dan Nitta Nazyra C. Noer ini malah
mempopulerkan penggunaan kondom agar
para waria terhindar dari penyakit AIDS.
Ford Foundation sebenarnya tidak bekerja
sendiri di Indonesia, dalam mengkampanyekan
isu feminisme, kesetaraan gender, hingga
homoseksualitas. Tercatat organisasi yang kini
dipimpin bekerjasama dengan Human Rights
Watch New York.
Human Rights Watch of New York sendiri
adalah salah satu lembaga humanisme sekular
yang berpusat di New York. Salah satu rekam
jejaknya erlihat saat mereka demikian gigih
dalam membela pergelaran Q! Film Festival di
Indonesia, termasuk juga ketika membela
Ahmadiyah baru-baru ini.
Tantangan Bagi Umat Muslim
Dengan gejala ini, umat muslim harus
waspada. Konspirasi kaum zionis dalam dunia
perfilman mesti disikapi dengan bagaimana
setiap umat membentengi keluarga dengan
akidah dan tauhid yang lurus. Terbukti film
memakai label Islam pun tidak juga bertujuan
untuk syiar dakwah.
Tentu ini bukan berarti kita tidak boleh berkreasi.
Islam menghargai kreativitas manusia,namun
kita juga jangan pernah lupa bahwa ada
kaidah-kaidah syar'i yang harus menjadi dasar
tiap manusia menelurkan gagasannya. Terlebih
saat ini sistem Dajjal sedang berdiri
membangun kekuatannya melalui invasi
perfilman dunia.
Semoga kita selalu diberikan penerangan oleh
Allah untuk bisa mengendus misi mereka,
walau mereka berdalih:"ini film Islam kok,
kebebasan berekspresi kok, demi toleransi umat
beragama kok."
Ya Allah lindungilah keluarga kami dari fitnah
akhir zaman. Dimana sesuatu yang baik
dikatakan buruk, dan keburukan dilapisi dengan
dalih kebenaran. Ya Rabb hanya kepadaMu lah
kami bergantung. Hanya kepadaMu lah kami
memohon ampun dan pertolongan.
Wallahu'alam bishshawab.
Sumber:www.eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar